Minggu, 10 Oktober 2010

Akhirnya Bumipun Meminta Haknya

Selesai makan malam, agenda selanjutnya di malam liburan ini adalah MEROKOK SAMBIL NONTON TV. Stop kontak sudah tertancap dan segera kuraih remote control yang ada di atas meja depan tv. Sekilas ada kepuasan yang melintas di dada. Bagaimana tidak, bagi laki-laki sepertiku, kenikmatan apa yang bisa menandingi hisapan rokok setelah perut kenyang? Ternyata dalil yang diucapkan perempuan itu benar:

Ni’matul ‘uduud ba’dad dahaar.

Hahahaha, memang kenikmatan merokok itu setelah makan. Kali ini aku setuju dengan dia, tapi tidak untuk sikap antirokoknya itu. Pernah suatu hari dengan seenaknya dia menyuruhku pergi gara-gara dia tidak suka asap rokok. Alasannya karena asap rokok itu lebih membunuh mereka yang tidak merokok daripada perokok itu sendiri. Kalau menurut aku sih, siapa suruh jadi perokok pasif! Lebih baik jadi perokok aktif sajalah, resikonya juga lebih ringan. Ya gak?

“Jadi orang blo’on banget sih ente nih! Kalo emang nyari resiko yang lebih ringan, ya udah, mending gak usah merokok dan gak usah kumpul dengan manusia ahli hisap (sebutan untuk para perokok di komunitasku) aja sekalian! Pokoknya ente boleh merokok di dekatku asal gak ngeluarin asap!”

Teman-teman yang mendengar pernyataan terakhirnya itu langsung geerrrr… Maklum, untuk komunitas pecinta seksologi seperti kami seringkali ada neuron otak yang menghubungkan setiap kata yang tertangkap gendang telinga dengan istilah dunia prostitusi. Harap keikhlasannya untuk tetap membaca tulisan ini sampai selesai. Kami memang terbiasa dengan pernyataan-pernyataan yang membutuhkan banyak penafsiran itu dan kami menyukainya untuk sekedar melepas penat. Jika ada yang mual, langsung dimuntahkan saja, aku tadi sudah kok. Di kamar mandi, muntah karena merokok tanpa asap.

Oke, sekarang aku sedang menyaksikan salah satu acara televisi yang judulnya hampir sama dengan nama senjata tajam, meskipun ukurannya kecil. (Kali ini tidak ada hubungannya dengan istilah dunia prostitusi, sumpah!) Acara tersebut menampilkan sebuah pohon beringin besar di wilayah pemakaman yang roboh karena terseret angin puting beliung. (Sekali lagi, tolong jangan meniru kelakuanku dan teman-temanku untuk menghubungkan kedua kata sebelum tanda buka kurung tadi dengan rangkaian huruf yang kurang beradab! Terima kasih.)

Diberitakan juga bahwa bencana yang akhir-akhir ini sering melanda negeri yang katanya kaya raya tersebut tidak hanya mengganggu ketenangan mereka-mereka yang masih hidup, tapi juga mengganggu mereka-mereka yang sedang istirahat tenang di alam sana. Barangkali kesimpulan itu diambil dari fakta bahwa ada kijingan makam yang mencuat hingga berdiri 180 derajat di sekitar akar pohon beringin yang tumbang di kawasan Jawa Barat itu dan memperlihatkan isinya yang masih terbungkus kafan.

Wah, wah, wah…

Beberapa hari sebelumnya di wilayah Timur juga terdengar kabar mengenai banjir bandang yang menyebabkan 97 warga tewas dan 70 warga masih belum ditemukan. Karena aku hanya mendengar kabar tersebut samar-samar, aku hanya jadi pendengar yang baik hati ketika ada yang berkata bahwa rumah yang terseret banjir itu menjadi seperti kapal-kapalannya adik-adik TK dan SD di dalam bak kamar mandi. Bahkan beberapa waktu yang lalu juga ada tanah longsor di sejumlah tempat dan jalan yang ambrol hingga aspalnya hilang beberapa puluh meter. Rumah dan bangunan yang megahpun tak lagi berpenghuni. Semuanya mengungsi ke tempat yang katanya (lagi) lebih aman. Rata-rata berita tersebut menggunakan cuaca yang ekstrim sebagai alasannya.

Ck, ck, ck…

Aku yang kata perempuan itu disumpahi blo’on mulai sedikit berpikir. Kalau tumbangnya pohon yang berumur sekitar 20 tahun tersebut juga karena cuaca yang ekstrim, lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini?

Ah, pikiranku jadi penat! Aku kok malah ikut-ikutan pusing begini sih? Apa urusanku dengan mereka yang terkena bencana itu? Masa bodo, yang penting sekarang aku masih bisa menikmati rokok dengan secangkir kopi legam. Tapi tunggu! Bagaimana kalau yang ada di dalam bencana itu adalah ibuku, orang tuaku satu-satunya? Ibuku?

Aku bergegas menuju kamar tidur. Ibuku tidak ada. Kemana perginya dia? Kutanyakan kepada tetanggaku yang jarang aku sapa, katanya ibuku ikut pengajian di desa sebelah. Setelah aku ucapkan terima kasih kepada tetanggaku itu ada kelegaan yang mendalam ketika kulihat ibuku sudah memasuki pintu rumah dengan membawa sajian pengajian alias berkat. Kurang ajar! Anak macam apa aku ini sampai dimana ibuku berada saja aku tak tahu. Bagaimana aku bisa memastikan keadaannya baik-baik saja jika keberadaannya tak pernah kuperhatikan? Selepas berpisahnya ibu dan ayahku karena perbedaan prinsip, yang kukerjakan hanyalah makan, tidur, nongkrong, kebut-kebutan di jalan, ya seputar itulah duniaku. Tak ada makna, tak ada manfaat untuk orang lain. Ah, persetan dengan makna dan manfaat!

Sekali lagi, aku yang pernah disumpahi teman perempuanku sebagai orang yang blo’on kembali berpikir ilmiah, meskipun sedikit. Tampaknya bukan hanya cuaca yang ekstrim yang menyebabkan bencana itu terjadi, tapi juga kurangnya regenerasi dan penghijauan kembali di wilayah padat penduduk. Ditambah lagi jumlah pemukiman warga juga semakin mempersempit lahan hijau dan polusi yang semakin hari semakin memperbesar lubang intip matahari lewat ozon bumi. Heh? Polusi?

Bentar, bentar!

“Iiiiiggghhh, ente nih apa-apaan sih? Malem-malem gini telpon orang yang lagi tidur! Ini udah jam berapa? Gangguin orang lagi istirahat aja! Ada apa?”, celoteh perempuan itu di seberang sana.

“Gini, Jeng King, eh salah, Jeng Ping, selain asap pabrik dan kendaraan bermotor, polusi itu apa lagi?”

“Ente nih cuma mau tanya gituan doang? Ya elah, Kho, Kho!”, terdengar perempuan yang bernama Pingky itu menguap, “Hoooaaahmm, ya banyaklah! Mulai dari plastik yang ente buang sembarangan, asap dan suara motor yang ente pake buat kebut-kebutan pas malem-malem di jalan raya tuh, air bekas deterjen yang kemaren ente pake buat nyuci baju sampe asep rokok ente juga polusi!”

Yah, dia mulai beraksi. Stay tune untuk tetap menjadi pendengar yang baik.

“Makanya daur ulang tuh limbah, buang sampah pada tempatnya, tanem pohon mulai sekarang dan JANGAN MEROKOK! Ente kan demen banget merokok, mana bungkus dan plastiknya gak pernah masuk tempat sampah lagi, mesti dibuang sembarangan! Kalo yang ngerokok cuma ente sih mungkin gak banget-banget masalahnya, karena perokok kayak ente tuh gak akan pernah bisa tua karena rata-rata bakalan mati muda.”

Tunggu, tunggu!

Kayaknya kali ini aku memang benar-benar pantas untuk dinobatkan menjadi pendengar yang baik untuk si Pingky. Tapi bukan itu penobatan itu yang aku cari.

“Tapi kalo perokok kayak ente nih jumlahnya lebih dari satu negara trus ngerokoknya setiap hari, setiap waktu, setiap 3 menit ngabisin satu batang, walah-walah, bisa-bisa atap rumahku kebakar matahari langsung tuh gara-gara ozonnya bolong dimana-mana kena polusi asap rokok. Emangnya kenapa siy kalo gak me…..”

Bla bla bla bla. Dia begitu tamak mengunyah aksara. Mulai merokok sampai ke kebakaran hutan, terus menyambung ke bumi yang sudah keberatan muatan. Hingga akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bertanya ketika dia mulai menguap, tanda matanya agak tidak bisa diajak kompromi. Tapi mungkin dia memaksakan. Buktinya…

“Tapi kalo misalnya ntar nanem pohon trus pohonnya kena puting beliung juga gimana?”

“Lhah kalo yang nanem itu manusia macem ente, trus kok masih juga kena musibah kayak gitu, itu mungkin karena dosa ente, kenapa ente gak segera tobat-tobat. Makanya sebelum Allah ngasih peringatan, ente tuh cepetan sadar dan segera balik ke Yang Ngecat Cabe. Lagian, pelit banget sih, masa ente tega cuma nanem satu tumbuhan doang? Tiga kek, ato lima gitu, syukur-syukur satu kebon. Dah, ah, aku mau tidur lagi! Alamicum…”

Tut tut tut! Nada telpon mati mengakhiri salamnya dengan lafal kekanak-kanakan.

Kalau ingat-ingat kata-kata dia yang terakhir, apa benar musibah di negeri ini sedikit banyak juga karena sumbangan dosaku? Emang dia gak punya dosa? Kan cuma malaikat yang gak punya dosa. Emang dia malaikat? Fiuh! Kok aku jadi masuk ke pembahasan dosanya Pingky gini sih? Kalau yang aku butuhkan itu saran dan pendapatnya, kenapa aku mesti mikirin siapa dia? Bukannya yang penting itu apa yang aku cari udah aku dapat? Eh, sejak kapan aku mau mendengarkan saran dan nasihat orang lain?

Ah, masa bodo! Lebih baik aku menuruti nasihat si Lidah Yang Gak Bisa Keriting itu sebelum ibuku menjadi korban banjir bandang. Sebelum satu-satunya orang yang memilih lebih mendahulukan aku makan sebelum dia sendiri makan digerogoti kanker paru-paru karena asap rokokku.

Sebelum nisanku tercabut oleh angin rebut gara-gara saking tuanya pohon di sekitar makamku.

Sebelum si bumi kembali meminta haknya atas pasirnya yang telah aku rampas untuk bangunan rumahku. Atas udara yang tak pernah luput dari pekaknya suara gembreng dan asap motorku. Atas airnya yang setiap hari kulimbahi dengan sabun yang kupakai untuk mengenyangkan syahwatku sendiri. Atas oksigen yang mungkin sudah terlalu bosan untuk menahan nafas karena masuk ke dalam hidungku yang penuh dengan asap rokok. Atas semua penghinaan dan penyiksaaan yang telah aku lakukan kepada bumi ini. Sebelum akhirnya ketenanganku dan ketenangan ibuku di alam barzah terusik.

Baru kali ini aku merasa bersalah.

Merasa kehidupanku selama ini tidak ada gunanya sama sekali. Merasa bahwa aku telah menjadi pecundang sepanjang masa. Tak mau berpikir apalagi berusaha menjadi orang yang berguna untuk kebaikan orang lain dan alam sekitarku. Tapi aku merasa masih merasa berat untuk meninggalkan asap rokokku dan kepuasan “rokok”ku yang itu, bahkan cenderung tidak mungkin.

Memoriku kembali mengingatkanku pada ucapan si cerewet tadi, “Yang penting prosesnya, ente harus berusaha untuk berhenti merokok, entah itu merokok dengan asap atau dengan busa. Penilaian Allah tuh bukan kayak UAN, Bro! Yang Allah lihat tuh bukan melulu hasil akhirnya aja, tapi juga seberapa konsisten ente berusaha dan seberapa keras ente mau berjuang untuk menjadi hambaNya yang baik hati, gak sombong dan rajin menabung. Kalo rajin menabung kan dah banyak tuh uang yang terselamatkan dari ajal untuk menjadi abu rokok. Ya gak?”

Dia benar. Ya Allah, meski aku belum bisa berhenti total dari merokok, dengan asap maupun tanpa asap, beri aku kekuatan untuk terus berusaha meninggalkannya, walaupun dengan cara pelan-pelan dan bertahap.

Bismillah…

Aku bertobat kepadaMu, wahai Dzat Yang Mengecat Cabe.



(Terima kasih kepada si Ikho atas curahan hati dan konsultasinya, semoga niatan baikmu dibantu sepenuhnya oleh Allah..)