Izzatush Shobihah
6 Agustus pukul 21:14 ·
Gerah punya anak yang gak pernah jadi juara?
Cek hierarki Maslow dari yang terendah sampai yang teratas ini:
1. Kebutuhan fisiologis, kayak bernafas, makan, minum, tidur, dan sebangsanya.
2. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, baik secara fisik maupun psikis.
3. Kebutuhan rasa cinta, semacam kasih sayang, persahabatan, kekeluargaan, penerimaan, de es be.
4. Kebutuhan akan harga diri, misalnya perasaan dihargai atau pengakuan dari orang lain.
5. Kebutuhan tertinggi: aktualisasi diri, seperti mendapat pengetahuan baru, memanfaatkan ilmunya, berguna bagi orang lain, meningkatkan kualitas diri, de es te.
Kalau misalnya ada ibu-ibu yang maksa anaknya berusaha keras untuk bisa jadi juara, bukan untuk meningkatkan ilmu ke level yang lebih tinggi, kira-kira kebutuhan si ibu itu masih nyampe nomor berapa ya? -_-
Tiap anak adalah juara.
Kalau mereka bukan juara, mereka tidak akan pernah lahir.
Bisa jadi mereka termasuk di antara sperma-sperma yang terbuang di kamar mandi itu.
#iZzatQuote
______
Izzatush Shobihah
6 Agustus pukul 14:34 ·
Sadarkah kita bahwa rasa bersalah yang ada dalam diri anak-anak atau siswa-siswi kita adalah hukuman yang cukup berat?
These are long words. Kalau gak betah, boleh skip.
Tadi malam, adik-adik yang belajar di rumah izin keluar sebentar. Pergi ke warnet, katanya. Ada 6 orang yang keluar. Saya izinkan, dengan dugaan positif mereka sedang mencari bahan untuk PR atau tugas sekolah mereka. Sebelum saya izinkan, saya wanti-wanti mereka untuk balik ke rumah saya jam 18.30 (mereka izin jam 18.10). Dan mereka menyanggupinya.
Sampai pukul 18.50 mereka belum juga balik. Ada info, katanya mereka pergi ke lapangan sepak bola, sekitar 200 m ke selatan rumah, bukan ke warnet seperti yang mereka ucapkan. Memang, sebagian dari wali murid adik-adik tersebut 'menitipkan' anak-anaknya untuk belajar di rumah saya bukan sekedar untuk belajar. Tapi juga agar aman dari pergaulan teman tetangga sekolahnya yang sudah mulai mencicipi narkotika. Setidaknya, kalaupun mereka tidak belajar hal baru, mereka ada di komunitas yang lebih aman.
Sekitar 3 menit kemudian, mereka datang.
"Jam berapa harus nyampe sini?"
"Setengah tujuh, Mbak, hehehe," ucap salah satu dari mereka cengengesan.
"Jam berapa sekarang?"
"Hehehehe, iya, Mbak. Telat."
"Udah, gini aja." Saya ambil uang yang tadi mereka bayarkan dan saya kembalikan ke masing-masing mereka. "Silakan pulang, bawa uang kalian, biar nanti atau besok saya kasih tahu ibu kalian kalau kalian tidak disiplin dan tidak jujur. Izin ke warnet, tapi nyatanya ke lapangan."
"Lho, kita gak ke lapangan, Mbak..." "Iya, Mbak, kita gak ke lapangan, sumpah!" "Buat apa sih, Mbak, kita ke lapangan gelap gitu?" "Mbak, ampun, Mbaaakk..."
And the story began...
Mereka langsung panik. Enam cewek SMP tersebut mulai gelisah. Sepertinya mereka berpikir keras bagaimana caranya agar saya tidak marah. *pede dikitlah*
Sambil mengoreksi PR adik-adik yang cowok, saya abaikan mereka yang tengah 'musyawarah' mencari jalan terbaik, walau dalam hati ingin tertawa. Tapi tetap saja, ada kalanya 'kepala sekolah' harus tampak garang.
Akhirnya mereka pamit pulang. Dengan kondisi yang belum saya maafkan dan PR yang belum dituntaskan, mereka izin minta salaman, seperti yang biasa mereka lakukan sebelum pulang. Dan saya tolak. Tahu apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata mereka tidak benar-benar pulang sebelum benar-benar bersalaman dengan saya. Mereka masih berembug di depan rumah. Sampai-sampai mereka mendatangkan 'barang bukti' berupa teman seusia mereka untuk mendukung pendapat mereka.
Setelah rumah sepi dari adik-adik yang belajar, saya izinkan mereka masuk rumah. Kalau kasus ini tidak saya selesaikan malam itu juga, mereka bisa tidak sekolah keesokan harinya gara-gara kesulitan tidur nyenyak. Dan tahu bagaimana respon mereka?
"Hey, disuruh Mb Izzah masuk loh. Buruan!"
"Yes! Yes! Yes!" "Alhamdulillah...." "Hey, ayo masuk rek, nanti Mb Izzah marah lagi." "Iya, ayo buruan!"
Saya perhatikan mereka masuk satu per satu. Masih juga mengucapkan salam sambil melepas sandal seperti biasanya. Bedanya, kali ini mereka menunduk.
Tidak banyak yang saya bahas. Hanya memastikan sikap mereka tadi pantas dilakukan atau tidak. Dan yang saya tunggu akhirnya terjadi. Mereka jujur. Bukan hanya dari ucapan, melainkan juga dari wajah. Jujur tentang semuanya. Bahwa mereka tidak datang ke warnet, juga tidak ke lapangan. Bahwa tiga orang dari mereka cuma keliling desa agar tak mengantuk saat menunggu giliran belajar. Bahwa tiga sisanya ternyata menemui pacarnya untuk menyelesaikan masalah mereka. I could see the honesty inside. Bibir mereka sudah memucat, sepertinya darah mereka terfokus di otak. Mata mereka tak berkedip saat saya tanya. Yang pasti, mereka takut. Takut tentang apa? I tried to find out.
"Oke, gini aja. Kalian maunya gimana?"
"Tetep les di sini, Mbak." "Minta maaf, Mbak." "Mbak Izzah jangan marah." dan jawaban sejenis lainnya.
"Boleh. Kalian bisa tetep les di sini, tapi jadwal kalian mundur. Habis magrib nyampe sini, jam setengah 8 atau jam 8 udah di rumah. Nanti aku tanyai ibu dan tetanggamu kamu udah pulang apa belum. Gak boleh bawa hape sampai waktu yang gak ditentukan."
"Iya, Mbak. Gapapa, Mbak."
"Apa perlu aku beritahukan ke ibu kalian masing-masing?"
"Jangaaaannnn!!!" "Jangan, Mbaaakkk!!" "Mbak, ampun, Mbaaakkk!"
Hohoho, akhirnya ketemu juga toh apa yang mereka takutkan. ;)
Ending story, mereka sanggup dengan syarat apapun yang saya ajukan. Bahkan mereka mengajukan syarat sendiri. Selain tidak membawa hape, mereka juga sanggup untuk berangkat naik sepeda pancal, bukan motor kayak biasanya. Katanya, biar tidak keliling kampung lagi pas jam belajar. Berbagai kesepakatan mereka buat sendiri, sementara saya hanya berdiri sambil melipat lengan di depan dada.
Dan akhirnya, mereka bisa pulang setelah bersalaman tangan dengan saya sambil mengucapkan maaf. Saya lihat wajah mereka kembali menjadi wajah manusia, bukan lagi wajah vampir yang tidak punya darah.
Ini yang saya cari. Tidak perlu hukuman fisik untuk membuat remaja SMP/SMA jera. Cukup buat mereka merasa bersalah dan tidak mampu memaafkan diri mereka sendiri sebelum mereka menuntaskan masalahnya, itu jauh lebih menghukum mereka. Biarpun bisa ditebak, dalam waktu 1 bulan mereka akan membawa hape secara sembunyi-sembunyi, setidaknya mereka mengalami 'shock therapy' ini dalam hidup mereka.
Dan untuk membuat mereka merasa bersalah, kadang mengabaikan mereka adalah cara yang bisa dipertimbangkan. ;)
#iZzatQuote #iLingGets
_________
Izzatush Shobihah membagikan sebuah kenangan.
6 Agustus pukul 13:37 ·
WARNING!!
Saat engkau merasa dekat dengan Allah sejatinya engkau jauh dari Allah!
5 tahun yang lalu
Lihat Kenangan Anda
Izzatush Shobihah
6 Agustus 2011 ·
Senengnya bisa berada di lingkungan, waktu dan kebiasaan yg Islami kaya gini: serasa lebih dekat dg Sang Pengecat Tomat!
____________
Izzatush Shobihah membagikan sebuah kenangan.
6 Agustus pukul 13:35 ·
5 tahun yang lalu
Lihat Kenangan Anda
Izzatush Shobihah
6 Agustus 2011 ·
Mental terasi ditambah mental tempe ditambah mental cabe: jangan salahkan kalau kemudian lahir kata2 berbau sambal!
__________
Izzatush Shobihah membagikan sebuah kenangan.
6 Agustus pukul 13:35 ·
4 tahun yang lalu
Lihat Kenangan Anda
Izzatush Shobihah
6 Agustus 2012 ·
Alhamdulillah, bahasa di sini gak pake verb 1, 2, 3..
Jadi gak perlu ribet ngAPALin(V1)-ngIPULin(V2)-ngUPILin(V3).. :p
_________
Izzatush Shobihah membagikan sebuah kenangan.
6 Agustus pukul 13:35 ·
4 tahun yang lalu
Lihat Kenangan Anda
Izzatush Shobihah
6 Agustus 2012 ·
"Ayah gak nyesel nikahi bunda?"
"Mungkin.."
"Kok mungkin?"
"Mungkin menyesal kalo hidup tanpa bunda.."
*Siaga satu! :D*
________
Izzatush Shobihah membagikan sebuah kenangan.
6 Agustus pukul 13:35 ·
4 tahun yang lalu
Lihat Kenangan Anda
Izzatush Shobihah
6 Agustus 2012 ·
Ketawa lihat bapak&ade tanding push up habis buka puasa..
Emang ya, tanding dg generasi muda itu butuh energi prima.. :)
___________
Izzatush Shobihah memperbarui bionya.
6 Agustus pukul 6:03 ·
Make a deal first, we'll be friend then. Maaf, kalau mau berteman, silakan kirim pesan dulu.
____________