Tebungan: 7 Mei 2008
Kupandangi jalan itu sekali lagi. Sepi. Lengang. Yang ada hanya kehampaan. Dia sudah pergi.
Ketika ku kembali menuju pondok bambu itu, semua sesak serasa mencekam. Dadaku sakit. Tenggorokanku tercekat. Mata ini tak tahan dengan butiran air yang keluar begitu derasnya meski tanpa suara isak.
"Aku tak sanggup lagi!"
Sejenak.
"Mengapa dia tinggalkanku? Apa salahku?"
Embun di sudut mata itu jatuh ke punggung tangannya.
"Mengapa dia setega itu padaku?"
Dia mencoba untuk tegar dengan menahan isak.
"Aku gak terima, apa dia kira bisa dengan mudahnya menyuruhku untuk...."
Lemah itu menyergap lagi. Putus asa.
"....melupakannya...." Tangis itupun meledak
"Aku masih sayang dia, aku masih cinta dia! Ya Allah, beri aku kekuatan!" Dan tangis 23 April malam itupun memecah tenangnya jiwa.
Namun, sedikit waktu jiwa ini mereda. Apalah arti menggundahkan hati. Itu hanyalah cara Sang Terlaknat menjauhkan kita dari panggilan surga untuk berjumpa denganNya.
Bangsat!
Mengapa pikiranku masih teringat pada kejadian di malam itu? Malam dimana sebuah kepercayaan telah terluka. terluka dalam. Tanpa kasih, tanpa sayang.
(Ini fragmen kedua di Diary Merah, yang pertama ada di Diary Biru)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar