Melihat bumbu lodeh di atas cobek jadi ingat dengan nasibku 3 tahun yang lalu. Aku masih ingat betul detailnya: lulus dari SMA Negeri 3 Jombang, gagalnya kuliah ke Al-Azhar Mesir gara-gara telat informasi, urungnya kuliah ke Kedokteran Universitas Airlangga atau Psikologi Universitas Indonesia karena belum dapat izin dari orang tua, tawaran masuk IKAHA, dipaksanya memilih jurusan PAI dan seterusnya.
Jadi kaya orgilkanis (orang gila tingkat kronis): habis sedih, senyum-senyum sendiri… :-)
Coba Sobat Disan incipi bahan-bahan sebelum dijadikan bumbu lodeh itu! Sekali waktu incipi kunyitnya pas masih belum dikelupas! Bagaimana rasanya? Kalau gak enak, coba kunyah lengkuasnya mentah-mentah! Bagaimana rasanya? Kalau gak enak, coba kunyah bawang putih dan bawang merahnya sebelum atau setelah dikelupas! Bagaimana rasanya?
Kalau masih merasa tidak enak dan langu, berarti kali ini Sobat Disan sependapat denganku.
Tapi coba incipi ketika bumbu itu dimasak bersama tewel (iya, bingung, apa sih bahasa Indonesia resminya tewel?) atau rebung (itu tuh bambu muda) terus disajikan bersama ketupat pas lebaran, dimakan bersama teman-teman atau kerabat kita! Bagaimana rasanya?
Kalau lezat (terlepas dari selera kurang asin atau kurang pedas), berarti Sobat Disan sepedapat denganku untuk kedua kalinya. Terima kasih. :-)
Sadar gak kalau rencana Allah itu hampir sama kaya bumbu tadi? Kalau kita makan secara terpisah, tanpa mengolahnya, maka jangan salahkan bumbunya jika terus terasa hambar. Seperti ingatan singkatku tadi itu tuh, pingin masuk kampus impian aja gak keturutan beneran dan itu juga terasa hambar di otak dan hati! Bisanya diam, pasrah, sami’na wa atho’na, manut dan nerimo ing pandum atas titah baginda orang tua meskipun rasanya pingin berontak, pingin marah, pingin ngeluarin password khas Surabaya, pingin gimanapun caranya agar bisa melampiaskan emosi. Padahal…….
Jahe “amarah”, kunyit “berontak”, bawang “pasrah” dan segala bahan yang ada saat itu bisa dijadikan pilihan untuk dimasak menjadi lodeh “pengalaman” yang lezat. Jika kita masih bernyawa, banyak pilihan walaupun kita berada dalam paksaan. Pilihan untuk bahagia atau sedih, pilihan untuk berontak gaya preman (tawuran dan gasakan) atau berontak gaya santri (beli makanan dan dimakan bareng-bareng teman sepondok), pilihan untuk marah ala berandalan (teriak-teriak dan nampar siapapun yang ditemui) atau marah ala muslimah (wudhu dan segera menikmati kepepetisme tersebut). Dan juga banyak pilihan ketika harus menghadapi tekanan dan kepepetisme: pilihan untuk menjadi seperti batu kerikil ataukah menjadi seperti intan.
Jika Sobat Disan memilih menjadi seperti batu kerikil yang sering menyakiti kaki orang dan sering ditedang orang ke sana ke mari, tinggalkan tulisan ini! Dan jangan dibaca kelanjutannya!
Tapi jika Sobat Disan memilih menjadi seperti intan, maka ketahuilah bahwa intan adalah batu yang terbentuk sedemikian indah karena berada di bawah tekanan. Semakin terdesak sebuah intan, semakin berkilau dan tidak mudah rapuhlah dirinya. Semakin dalam lubang galiannya, semakin tinggilah harga kesempurnaannya. Galilah intan yang ada di dalam diri agar bisa menjadi pribadi yang berharga. Yang gagal masuk MHQ tapi malah diterima di Syu’bah, nikmatilah! Mumpung yang diminta adalah memperkaya bahasa, bukan mempermiskin bahasa. Yang gagal masuk Syu’bah tapi malah diterima di MHQ, bersyukurlah! Mumpung hanya diminta menghafal, bukan mengarang Al-Quran. Yang gagal masuk ini tapi malah diterima masuk ke situ, tenanglah! Allah punya lebih banyak ketela yang lezat di alam nyata untuk menggantikan roti yang kau temui dalam mimpi. Allah juga punya lebih banyak kalung emas untuk menggantikan kalung plastikmu yang hilang.
Sobat Disan, jangan biarkan dirimu dipenjara oleh paksaan dan tekanan! Berontak dan marahlah secara Islami, yakni membangun diri, mengembangkan potensi dan bersyukur! Orang lain boleh mencuri mimpimu, tapi jangan biarkan mereka mencuri ide, hati dan kenyataanmu! Jika mimpimu kesasar, biarkan Allah menghiburmu agar “bumbu-bumbu”mu tersaji lezat dan kualitas “intan”mu mempersilakan janjiNya terwujud: “Inna ma’al ‘usri yusran” (sesungguhnya di samping kesulitan akan ada kemudahan)! So, sekarang bagaimana rasanya? (Ling)
(Nulisnya tanggal 8 Maret 2011 kemarin pas diuber deadline oleh buletin DISAN PonPes Walisongo Jombang, gak taunya yang diminta malah yang versi bahasa Inggris..
Hmmm, harus nranslate dulu niy, hehehehe..
Tapi, alhamdulillah tanggal 9 kemarin udah selesai dan tulisan yang diminta udah dikirim, semoga bermanfaat..)
Jadi kaya orgilkanis (orang gila tingkat kronis): habis sedih, senyum-senyum sendiri… :-)
Coba Sobat Disan incipi bahan-bahan sebelum dijadikan bumbu lodeh itu! Sekali waktu incipi kunyitnya pas masih belum dikelupas! Bagaimana rasanya? Kalau gak enak, coba kunyah lengkuasnya mentah-mentah! Bagaimana rasanya? Kalau gak enak, coba kunyah bawang putih dan bawang merahnya sebelum atau setelah dikelupas! Bagaimana rasanya?
Kalau masih merasa tidak enak dan langu, berarti kali ini Sobat Disan sependapat denganku.
Tapi coba incipi ketika bumbu itu dimasak bersama tewel (iya, bingung, apa sih bahasa Indonesia resminya tewel?) atau rebung (itu tuh bambu muda) terus disajikan bersama ketupat pas lebaran, dimakan bersama teman-teman atau kerabat kita! Bagaimana rasanya?
Kalau lezat (terlepas dari selera kurang asin atau kurang pedas), berarti Sobat Disan sepedapat denganku untuk kedua kalinya. Terima kasih. :-)
Sadar gak kalau rencana Allah itu hampir sama kaya bumbu tadi? Kalau kita makan secara terpisah, tanpa mengolahnya, maka jangan salahkan bumbunya jika terus terasa hambar. Seperti ingatan singkatku tadi itu tuh, pingin masuk kampus impian aja gak keturutan beneran dan itu juga terasa hambar di otak dan hati! Bisanya diam, pasrah, sami’na wa atho’na, manut dan nerimo ing pandum atas titah baginda orang tua meskipun rasanya pingin berontak, pingin marah, pingin ngeluarin password khas Surabaya, pingin gimanapun caranya agar bisa melampiaskan emosi. Padahal…….
Jahe “amarah”, kunyit “berontak”, bawang “pasrah” dan segala bahan yang ada saat itu bisa dijadikan pilihan untuk dimasak menjadi lodeh “pengalaman” yang lezat. Jika kita masih bernyawa, banyak pilihan walaupun kita berada dalam paksaan. Pilihan untuk bahagia atau sedih, pilihan untuk berontak gaya preman (tawuran dan gasakan) atau berontak gaya santri (beli makanan dan dimakan bareng-bareng teman sepondok), pilihan untuk marah ala berandalan (teriak-teriak dan nampar siapapun yang ditemui) atau marah ala muslimah (wudhu dan segera menikmati kepepetisme tersebut). Dan juga banyak pilihan ketika harus menghadapi tekanan dan kepepetisme: pilihan untuk menjadi seperti batu kerikil ataukah menjadi seperti intan.
Jika Sobat Disan memilih menjadi seperti batu kerikil yang sering menyakiti kaki orang dan sering ditedang orang ke sana ke mari, tinggalkan tulisan ini! Dan jangan dibaca kelanjutannya!
Tapi jika Sobat Disan memilih menjadi seperti intan, maka ketahuilah bahwa intan adalah batu yang terbentuk sedemikian indah karena berada di bawah tekanan. Semakin terdesak sebuah intan, semakin berkilau dan tidak mudah rapuhlah dirinya. Semakin dalam lubang galiannya, semakin tinggilah harga kesempurnaannya. Galilah intan yang ada di dalam diri agar bisa menjadi pribadi yang berharga. Yang gagal masuk MHQ tapi malah diterima di Syu’bah, nikmatilah! Mumpung yang diminta adalah memperkaya bahasa, bukan mempermiskin bahasa. Yang gagal masuk Syu’bah tapi malah diterima di MHQ, bersyukurlah! Mumpung hanya diminta menghafal, bukan mengarang Al-Quran. Yang gagal masuk ini tapi malah diterima masuk ke situ, tenanglah! Allah punya lebih banyak ketela yang lezat di alam nyata untuk menggantikan roti yang kau temui dalam mimpi. Allah juga punya lebih banyak kalung emas untuk menggantikan kalung plastikmu yang hilang.
Sobat Disan, jangan biarkan dirimu dipenjara oleh paksaan dan tekanan! Berontak dan marahlah secara Islami, yakni membangun diri, mengembangkan potensi dan bersyukur! Orang lain boleh mencuri mimpimu, tapi jangan biarkan mereka mencuri ide, hati dan kenyataanmu! Jika mimpimu kesasar, biarkan Allah menghiburmu agar “bumbu-bumbu”mu tersaji lezat dan kualitas “intan”mu mempersilakan janjiNya terwujud: “Inna ma’al ‘usri yusran” (sesungguhnya di samping kesulitan akan ada kemudahan)! So, sekarang bagaimana rasanya? (Ling)
(Nulisnya tanggal 8 Maret 2011 kemarin pas diuber deadline oleh buletin DISAN PonPes Walisongo Jombang, gak taunya yang diminta malah yang versi bahasa Inggris..
Hmmm, harus nranslate dulu niy, hehehehe..
Tapi, alhamdulillah tanggal 9 kemarin udah selesai dan tulisan yang diminta udah dikirim, semoga bermanfaat..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar