Izzatush Shobihah memperbarui bionya.
20 Oktober pukul 20:17 ·
Conductor's rehearsal session: Syuhada Kemerdekaan (Mars Hari Santri).
20 Oktober pukul 20:17 ·
Conductor's rehearsal session: Syuhada Kemerdekaan (Mars Hari Santri).
___________
Izzatush Shobihah
20 Oktober pukul 11:04 ·
Kau tahu, Saudariku?
Bahwa suamimu yang shalih itu akan lebih tenang hatinya bila alumni pesantren sepertimu tetap menutup aurat, sekalipun di kamar tidurmu sendiri. :)
Kau tahu, Saudaraku?
Bahwa istrimu yang shalihah itu akan lebih tenang hatinya saat menatap punggungmu yang tengah berduaan dengan Al-Quran di sepertiga malam terakhirmu. :)
__________
Izzatush Shobihah menambahkan foto profil sementara.
20 Oktober pukul 8:05
___________
Izzatush Shobihah
19 Oktober pukul 22:19 ·
Pujian, Gunjingan, dan Hukum Ketiga Newton
Masih ingat dengan Hukum Ketiga Newton?
"Gaya aksi dan reaksi dari dua benda memiliki besar yang sama, dengan arah terbalik, dan segaris."
Ini tidak hanya terjadi dalam hal mekanik, tapi juga dalam hidup.
Sekedar sharing. Dulu, setelah saya dianggap "lulus" dari pendidikan tarik suara, saya anggap tugas saya selesai. Selesai sebagai choir singer, selesai pula sebagai dirigen.
Ternyata Allah mengirimkan takdir lain. Beberapa tahun setelahnya saya tetap harus menjadi bagian dari tim-tim paduan suara non-profesional. Banyak yang menyanjung karena berbagai alasan. Mulai dari kode yang mudah dimengerti, hingga panduan gerakan yang bisa membantu penghayatan lagu.
Tapi saat itu saya lengah. Bahwa Hukum Ketiga Newton juga berlaku.
Bahwa semakin banyak yang memuji, semakin banyak yang mencaci.
Bahwa semakin banyak yang tertarik, semakin banyak pula yang bertindak licik.
Dan itu benar-benar terjadi. Ada semacam gerakan bawah tanah yang dengan segala usahanya mencekal saya. Mulai dari alasan yang entah sejak kapan mereka menganggap saya wanita, "Kamu itu gak pantes jadi dirigen, Tush! Dirigen itu harus tinggi, putih, cantik, langsing." sampai yang tanpa alasan di lisan namun tiba-tiba mengambil lagu yang harusnya saya pandu, menjadi tugasnya sendiri.
Hahaha, pingin ketawa sebenernya. Ini masih belum profesional nih, udah kayak gini. :D
Sebenarnya apa sih yang mereka cari dari status 'dirigen' yang mereka gilai sampai sebegitunya? Bukankah tidak ada jabatan di dunia ini yang pantas dipertahankan mati-matian selain jabatan sebagai hamba Allah?
Sudah, sudah. Ikhlaskan saja. Tetap fokus belajar.
Yang jelas, pujian tidak selamanya menjadi sanjungan. Kebencian tidak selamanya menjadi gunjingan.
Karena pujian dan gunjingan itu tak terpisahkan, besarnya sama, segaris, tidak searah, seperti yang Newton jelaskan di Hukum Ketiganya itu. :)
NB: Barangkali jodoh juga begitu. Semakin besar kita mencintai seseorang di luar nikah, semakin besar kemungkinan dia tidak menjadi jodoh kita. ;)
__________
Izzatush Shobihah
19 Oktober pukul 11:16 ·
Gimana ya bilangnya?
Jadi, gini. Ini adalah skrinsyut klien saya yang ingin cari 'tempat sampah' bagi masalahnya. Saya upload setelah saya mendapat izin dari yang bersangkutan.
Si mbak klien ini pingin kuliah lagi, lanjut ke S3. Tapi, suaminya gak ngizini. Alasannya, "Kamu sekolah tinggi-tinggi itu loh buat apa?"
Haduh, sensitif deh kalau denger pertanyaan sejenis itu. -_-
Saya tidak sensitif sama si suami, saya cuma sensitif sama kalimatnya. Mirip jam kuno yang hidup di era digital.
Sensitif karena istri tidak diberdayakan.
Sensitif karena istri tidak diizinkan mengaktualisasikan diri.
Sensitif karena istri tidak dianggap sebagai sahabat atau anak didik yang juga butuh masa depan lebih baik.
Siapa tahu, karena pendidikan istrinya, suatu saat nanti si suami ikut terangkat derajatnya, bertambah berkah rezekinya, juga semakin baik kehidupannya.
Siapa tahu, kelak Allah memberi amanah kepada si suami untuk menjadi ketua yayasan pendidikan dan si istri menjadi satu-satunya kandidat kepala sekolah karena hanya dia yang telah lulus S3.
Siapa tahu, dengan S3nya si istri, anak-anaknya tidak harus menanggung malu gara-gara orang tua mereka tidak peduli pada pendidikan dan keilmuan.
Siapa tahu, si suami meninggal lebih dulu, lalu si istri (yang gak boleh kuliah-gak boleh kerja-gak ditinggali warisan melimpah) ini dimudahkan mendapatkan penghasilan karena gelarnya itu.
Siapa tahu?
Allah bisa mengubah segala jalan tanpa pemberitahuan kepada hambaNya kan?
Tolonglah, untuk semua suami yang masih suka menanyakan pertanyaan yang sama, pertimbangkan kembali.
Tidak ada ruginya mencari ilmu, karena Allah tidak akan membiarkan kehidupan hambaNya yang berilmu lebih buruk dari yang tidak berilmu.
Jangan tunggu ada tuntutan dulu baru kuliah. Entah itu tuntutan pekerjaan, tuntutan ekonomi, tuntutan duniawi, atau tuntutan lainnya. Mau saya kenalkan dengan mereka yang dulu enggan menempuh S1 padahal mereka mampu dan sekarang menyesal karena tidak lulus S1 sejak dulu?
Toh, kalau tidak mampu membiayai, mbok ya setidaknya didukung. Diajak cari beasiswa. Disupport secara moral.
Kalau memang tidak mampu juga, didik sendiri istri dengan pendidikan selevel S3. Bukankah mendidik istri adalah tugas suami?
Karena tidak semua wanita itu seperti Izzatush Shobihah.
Ada di antara mereka yang lebih membutuhkan dukungan moral, bukan material.
#iZzatQuote
----------
Dan saya membuktikannya: ucapan panjang lebar yang intinya pendek sempit, lalu dijawab dengan singkat padat, itu sangat mengasyikkan. *niru si bos*
______________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar