(Tadi sore, q nulis ini di laptopnya mas Brinticz paz lagi ada pengajian+arisan+rapat pengurus alumni di Basecamp FASSAL. Keyboard2 itu tertekan oleh jemari ketika dendam itu mulai luntur dari dekilnya)
Bertemu dengan berbagai macam manusia membuatku semakin yakin bahwa kebahagiaanku tengah berada di sekelilingku. Mereka menyambut diriku dan itu membuatku yakin ada cinta yang menginginkan kaki mereka tak beranjak dari tempat dimana aku berada saat itu. Dan itu aku artikan: mereka menerimaku.
Allah, thanks a lot…
Masih ada cinta yang mendampingiku sehingga aku masih bisa bertahan meski syahriah asramaku nunggak lima bulan *tentunya aku harus beli –ato seenggaknya punya- label TANPA KEMALUAN (baca: tanpa rasa malu) yang menempel di jidatku*; meski ada banyak konflik *lebih tepatnya cek-cok positif* yang masih belum bisa ku taklukkan dengan cara pikir dewasa; meski aku harus dibayang2i pemilihan kata2: milih bapak ato ibu, seandainya mereka positif menandatangani surat “antireparasi edisi terakhir”; dan meski2 yang lainnya.
Tapi…
Aku yakin aku bisa menghadapinya. Bukankah segala sesuatu yang gak bisa ditolak kehadirannya secara ikhlas gak ikhlas, seneng gak seneng, marah gak marah, melek gak melek, itu semua memang harus dihadapi? Tul gak? *jawab iya dong!* Pikirku, selama aku masih mengayuh sepeda kehidupan, maka roda takdir juga akan ikut berputar, entah itu dengan kondisi ban yang masih baru dan awet atopun dengan kondisi ban yang udah aus dan minta diopname di bengkel religi. Selama aku hidup dan menjalani kehidupan dengan pengendali darahku adalah Allah, maka bukan ide yang bagus jika aku menolak pemberianNya. Disadari ato nggak, kecewa, bahagia *misal: habis ditraktir bakso 32 hari sebulan*, sakit hati *bisa karena pacar, bisa juga karena nasi goreng buat sarapan ditumpahi es teh secara gak sengaja oleh musuh kita*, dimarahi, ditolak tao ditembak *awas pelurunya bajakan&gak dapet izin dari pemilik hak ciptanya!* juga termasuk pemberianNya.
Aku pernah berpikir bagaimana dulu aku bisa tidak diterima oleh sekelompok orang yang gak mengakui keberadaanku di sekitar mereka. Oke! Aku bisa terima, tapi tolong jangan harap aku mau kembali gabung dengan kalian2 semua tanpa pertimbangan, batinku saat itu. Tapi sekarang aku mulai berpikir, weleh, paling2 bentar lagi Allah akan memutar roda sepedaku dan tak akan membiarkan mereka selamanya berada di atas dengan berbagai sanjungan dan taburan bunga. Yah, kita tunggu aja gimana endingnya: hepi ending, sed endink *eh, tulisannya bener gak siy?* ato penasaran ending. Ato jangan2 kapan taburan bunga itu berupa bunga kamboja putih! *wakakakakakak, ni mau curhat apa mau ziarah?*
Nyak, nyak nyak nyak...
Dari pengalaman2 seperti itu biarkanlah mereka yang mengakui bahwa dunia ini miliknya berkoar2 tanpa corong. Meski mereka tak lagi mau mengakui keberadaan kita, tapi Allah berbeda dengan mereka. Allah masih sayang pada kita, Allah masih cinta dan peduli pada makhlukNya, selemah apapun makhluk itu. Sekalipun mereka2 tak menganggap kita ada, tapi toh Allah masih berada di pihak kita *selama kita gak ganti profesi dari penjahit jadi penjahat lo ya!*, nyatanya mereka gak bisa mendapatkan semua pengalaman yang telah kita lalui. Toh nyatanya mereka gak bisa merasakan indahnya mencintai, peduli dan mengakui keberadaan orang lain. Toh nyatanya... *silakan cari toh-toh yang lain, selain yang nempel di badan (kalo itu mah toh-nya beda)!*
Kini saatnya mencoba untuk menenangkan dan menghibur diri dengan mengakui bahwa mereka bukan siapa2, mengakui dengan jujur bahwa dunia ini bukan milikku, bukan milik kita dan juga bukan milik mereka. Kita bukan Tuhan, merekapun juga bukan *apalagi lebih dari Tuhan!*... Toh, pada akhirnya Allah-lah satu2nya yang berhak mengakui bahwa dunia dan kehidupan ini *tentunya dan seisinya plus sekulitnya –emang dunia punya kulit ya?-* adalah milikNya, bukan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar