Selasa, 07 Desember 2010

Calon Dokter dari UI

New job!
New profession!
New desk!

Pagi ini sebelum berangkat ke kampus aku menyempatkan diri untuk mengembalikan buku ke Basecamp FASSAL karena ada 4 buku yang belum ku kembalikan yang ku pake buat nyari judul skripsi kemarin. Setelah itu langsung berangkat ke perpustakaan pusat buat mbalikin buku yang dah saatnya dikembaliin. Dah cukup trauma juga sih telat ngembaliin buku ke sono, habisnya sekarang dendanya naik dua kali lipat dari denda sebelumnya. Sekarang jadi Rp. 200/buku/hari. Sekarang keliatan banget kalo telat dua bulan dendanya dah bisa ku pake buat beli buku baru milik sendiri.

Berhubung dilema tragis itulah yang mbuatku harus kembali ke tradisi SMAku dulu: DISIPLIN.. Akhirnya dengan kesadaran penuh *lebih tepatnya takut kena denda yang lebih biadab lagi* aku kembalikan 2 buku yang sebelumnya ku pinjam TEPAT PADA WAKTUNYA, Sodara2.

Begitu sampai di lante 2 yang notabene merupakan tempat peminjaman dan pengembalian buku aku langsung naruh buku untuk dikembalikan dan nyari buku lainnya untuk dipinjam. Karena server buat pendataan di komputernya mati, akhirnya pendataan buat pengembalian dan peminjamannya kembali ke teknis manual alias ditulis make tangan..

Balada belum terjadi ketika yang didata adalah buku pinjaman yang ku kembalikan. Tapi tak lama kemudian yang didata dalah buku yang baru ku pinjam. Mau tidak mau terjadi juga percakapan selanjutnya ketika pendataan dua buku tersebut: Prophetic Medicine karyanya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dan Penyakit Kulit dan Kelamin karya dr. Puspita Laksmintari.

"Servernya mati, Mbak?" ku beranikan diri bertanya.

Dengan ramah sang petugas menjawab, "Iya, Mbak.."

Tidak lama keudian, mungkin karena telah mencerna buku pertama yang ku pinjam (Prophetic Medicine) akhirnya dia bertanya, mungkin menebak2, "Akper, Mbak?"

"Ow, nggak..", jawabku sambil senyum tanpa birahi.

Sang petugas masih terus mendata, kali ini buku yang kedua (Penyakit Kulit dan Kelamin). tetap dengan nada penasaran, "Dokter, Mbak?"

"Nggak jugaa..", kataku dengan senyum yang mulai ramah.

"Ooo", sang petugas masih juga percaya dengan tatapan yang masih istiqomah penasarannya. Sejurus kemudian pendataan selesai dan sebelum aku meninggalkan meja petugas, aku berkata,

"Kalau calon dokter, iya," kataku sambil tetap senyum. Kali ini dengan sukses aku tersenyum najis trilili. Benar2 mugholadhoh!

Eh, malah sang petugas menanggapi serius, "Sama aja, Mbak. Ya itu maksud saya." Kali ini tatapannya bukan lagi karena penasaran, bukan juga kagum, salut atau bangga. Tapi tampaknya lebih karena melihat cewek dengan muka tak rata make baju batik yang berada di hadapannya bisa mendapatkan gelar DOKTER, mengingat tinggi badan yang semampai (semeter tak sampai) ini.


Barangkali jika setelah ku tinggalkan mejanya lantas dia bilang, "Masya Allah, universitas mana ya yang mau ngelulusin dokter cebol kayak dia?", maka aku tak akan ragu menjawab, "UI!" dan ku teruskan di dalam hati, di Jombang.

Fakta: Mohon doanya aja dari temen2, moga2 aku segera bisa jadi dokter, dengan spesialisasi Sp.Pd (Spesialis Pendidikan), yang siap menyembuhkan sekolah dan pendidikan di Indonesia dari penyakit-penyakitnya, walaupun tanpa gelar "dr" (dokter) di depan namaku..