Sabtu, 13 Februari 2016

Status FB 13 Februari 2016


Izzatush Shobihah menambahkan 2 foto baru — bersama Izzah Ling dan 2 lainnya.
13 Februari pukul 14:11 · 




Pagi ini, ada SMS masuk. Dari klien sekaligus sahabat saya. SMS sengaja diedit agar lebih mudah dibaca, esensi tetap sama. Ini pelajaran untuk semua generasi, termasuk saya sendiri. Yang kurang suka baca tulisan panjang, abaikan, tapi tetap hargai orang tua.

Dia: "Bunda lagi dimana? Aduh, Bun, kan sekarang aku lagi duduk di Kebon Rojo, lagi nunggu suami ngajar di Sunan Ampel dan di depanku ada kakek-nenek yang dimarah-marahin anaknya, digoblok-goblokin, dicaci-maki abis-abisan sama anaknya. Yang neneknya sampai nangis. Si anak gak mau ortunya ikut sama dia. Ya Allah, kasihan banget, Bun. Si kakeknya pingin tiduran tapi gak ada tempat tidur. Sekarang beliau berdua ditaruh di Kebon Rojo. Kasihan banget, Bun. Gak kerawat. Anaknya gak ada yang mau ngerawat."

Saya: "Sek, Nduk, aku masih kerja soale. Sekarang kakek-nenek itu masih di situ? Anaknya udah pergi?"

Dia: "Iya, Bun. Anaknya udah pergi. Si kakek badannya udah lemes banget, berkali-kali jatuh dari kursi, kepalanya njeduk ke lantai. Aku gak kuat ngangkat, Bun. Tadi sempet tak suruh ngangkatin orang, tapi abis itu jatuh lagi."

Saya: (antara kasihan dan waspada) "Punya uang buat beliin makanan ringan buat mereka? Cukup dikasihani aja, temani mereka, tetep SMSan sama aku. Kalau diminta uang, jangan dikasih dulu. Nanti kalau suami udah selesai ngajar, minta dia menghubungi dinas sosial di timurnya ringin contong atau PSRT baratnya SMA 2."

Dia: "Kalau makan, tadi udah abis makan, Bun. Nenek-nenek itu masih pegang nasi bungkus." (baca sampai kalimat ini, berasa pingin ketemu langsung sama anak mereka) "Aku gak tega, Bun. Si kakek ini kayaknya stroke juga pasti pingin baringan badannya pasti sakit semua, Bun. Bingung aku mau minta tolong siapa, tadi si kakek udah minta dipanggilin becak. Tapi kalau aku ngambil tindakan sendiri, ntar pas anaknya nyariin, aku yang disalahin, Bun. Tapi kalau dibiarin, gak tega lihat, jatuh-jatuh terus. Udah ngeluh badannya lemes semua. Katanya pengen baringan."

Saya: "Di situ gak ada tempat buat tidur-tiduran ta?"

Dia: "Gak ada, Bun. Gimana coba? Aku gak berani ngambil tindakan."

Saya: "Di situ ada lahan kosong? Maksudnya buat duduk di tanah gitu? Coba tanya orang-orang atau toko-toko sekitar ada yang punya glangsing/karung gak? Setidaknya buat alas aja."

Dia: "Apa tak panggilin becak aja ya, Bun?"

Saya: "Ada uang? Manggil becak buat tempat tidur mau apa mau kemana gitu?"

Dia: "Manggil becak buat ke rumah adiknya katanya, Bun."

Saya: (masih waspada) "Mereka bawa uang? Atau pean bawa uang? Tanyakan mereka bawa uang berapa. Jangan tunjukkan ke mereka kalau pean bawa uang. Kalau uang mereka cukup, gapapa panggilin aja."

Dia: "Aku udah minta tolong ke tukang parkir, Bun. Dibantu bapak-bapak yang lain, tak gelarin karpet di depan musholla."

Saya: "Yang nolong berapa orang? Musholla di sebelah mana? Ke sananya dipapah apa jalan sendiri?" (pertanyaan gak penting, hanya memastikan klien saya tetap dalam kondisi aman)

Dia: "Musholla yang deket lapangannya itu, Bun. Ada 3 orang. Tadi diangkat semua karena si kakek ini stroke, badannya luka-luka. Si nenek matanya udah gak jelas. Jalannya juga puelan-pelan, jadi digendong semua."

Saya: (agak lega) "Sekarang gimana?"

Dia: "Sekarang si kakek lagi tiduran, Bun."

Saya: (sifat protektif muncul lagi) "Banyak orang di situ? Ada siapa aja."

Dia: "Sekarang sama aku tok, Bun. Yang 2 orang lagi nyari anaknya."

Saya: "Itu tadi ditinggal anaknya kemana?"

Dia: "Gak tau, Bun. Dicari gak ketemu. Katanya ditinggal pulang tadi."

Saya: "Ya Allah, suami pulangnya jam berapa? Udah bilang ke dia?"

Dia: "Dia sampai siang, Bun. Ini aku baru bisa SMSan sama dia. Lagi bikin soal buat ujian. Setidaknya kakek ini sekarang bisa tidur, Bun. Kecapekan mungkin." (tidak lama kemudian, klien saya ini mengirim foto di inbox Facebook) "Tadi duduk di kursi itu, Bun. Berkali-kali jatuh kepalanya, kejedug di lantai. Sekarang udah bisa tidur."

Saya: "Ya Allah, trus sekarang gimana?"

Dia: "Ya Allah, Bun... Sekarang si kakek ini minta bangun, Bun. Aduh repot juga, Bun. Tidur punggungnya panas, tapi duduk juga gak kuat. Barusan duduk, terus ambruk lagi ke tanah. Terus aku minta tolong lagi ke orang buat ngangkat lagi, ditidurin lagi. Sekarang minta bangun lagi. :( "

Saya: "Udah tanya-tanya ke si nenek kenapa anaknya sampai gitu ke mereka?"

Dia: "Belum, Bun. Tadi aku sama suami mau ke dinas sosial tapi kata tukang parkir, anaknya tadi lagi ngurus panti jompo, mau ditaruh di panti, Bun."

Sampai di percakapan ini, saya langsung terhenyak. Berkurang sudah kewaspadaan saya karena khawatir kalau kakek-nenek tadi bukan orang baik-baik. Dan langsung mencari jawaban atas pertanyaan yang beterbangan di otak: Apa yang mereka perbuat semasa muda hingga anaknya berbuat demikian kepadanya?

Tiba-tiba berbagai asumsi muncul.

Pertama, datang dari ingatan akan nasehat adik saya yang kurang lebih mengatakan begini, "Jika anakmu nanti berdoa untukmu, 'Ya Allah, maafkanlah aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana menyayangiku di waktu kecilku' sementara kau menyayanginya dengan baik, maka kau layak mendapatkan kasih sayang yang baik pula dari Allah. Tapi, kalau sejak kecil anakmu kurang mendapat kasih sayang darimu, jangan protes kalau Allah sayangnya ke kamu juga cuma segitu." 
Asumsi 1: kakek-nenek tadi menyayangi anaknya 'hanya segitu' sehingga yang mereka dapatkan juga 'gak lebih dari segitu'.

Kedua, datang dari kisah di sebuah buku (judulnya Hikmah dari Seberang terbitan Pustaka Zawiyah, lupa halaman berapa, bukunya udah masuk kardus soalnya) tentang sepasang manusia yang membentak ayahnya di hadapan si anak (cucu sang ayah) gara-gara mangkok sang ayah jatuh dan pecah, sehingga mereka membuatkan mangkok kayu agar tidak pecah saat jatuh. Suatu hari, saat sang ayah menjatuhkan mangkok kayunya dan pecah lagi (karena saking seringnya jatuh), pecahan mangkok itu dipungut oleh sang cucu dan disusun agar bisa membentuk mangkok utuh lagi. Dia ditanyai oleh orang tuanya yang dulu pernah membentak kakeknya itu. "Sedang apa, Nak?" tanya mereka. Anaknya menjawab dengan lugu, "Sedang menyiapkan mangkok untuk ayah dan ibu saat tua nanti." 
Asumsi 2: Kakek-nenek di atas pernah bersikap tidak baik kepada orang tuanya dan sikap itu disaksikan langsung oleh sang anak, sehingga anaknyapun mencontoh sikap tersebut.

Ketiga, datang dari Al-Quran. Yang ada potongan ayat amwaalukum wa awlaadukum fitnah. Barusan searching, ternyata Al-Anfal ayat 28: ”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” 
Asumsi 3: Kakek-nenek tersebut adalah orang baik-baik yang keimanannya sedang diuji oleh Allah melalui kelakuan anak-anaknya.

Tiga hal yang saya pelajari dari SMS sahabat yang usianya jauh lebih muda dari saya ini: jika saya tidak ingin mengalami apa yang dialami kakek-nenek tadi, (1) saya harus memperlakukan orang tua dengan layak, (2) harus menyayangi serta mendidik anak dengan sebaik-baiknya, juga (3) harus siap diuji oleh Allah melalui keturunan yang 'berbeda'.

Allah, jadikan mereka dan kami pribadi yang kuat menghadapi ujianMu, seberat apapun itu.
#‎iZzatQuote‬ ‪#‎iLingPrays‬
___________

Izzatush Shobihah
13 Februari pukul 9:53 · 

Iya, saya dukung LGBT. Lelaki Ganteng Bininya Tiga.
------
Right now, I'm a boy, dude! I bet am handsome more than you.
_____________

Izzatush Shobihah membagikan foto Pottermore.
13 Februari pukul 8:00 · 

19 tahun kemudian, berarti Harry udah punya anak Albus Severus Potter yang dianter ke Hogwarts Express itu ya?



Foto Pottermore.
PottermoreSukai Halaman
10 Februari pukul 21:08 · 

We are thrilled to announce an exciting new publishing programme from J.K. Rowling’s Wizarding World: pottermo.re/CCRSE

‪#‎HPScriptBook‬
_____________

Izzatush Shobihah membagikan foto Faro Kazehaya.
13 Februari pukul 7:54 · 

Jika dia posting ini pada tanggal dan jam yang sama dengan postingan saya tentang Valentine kemarin, sepertinya kita bisa ngopi bareng, Kisanak. :)


____________