Kamis, 01 Juli 2010

Allah, Terima Kasih, Kau Mengizinkanku Menjadi Kaya

Sebulan yang lalu..

Ada yang bertandang ke rumahku, memintaku menyebutkan apa masalahku.. aku menjawab begitu banyak yang aku pikirkan.. Orang tua, kondisi keuangan keluarga, aktivitas BEM dan UKM di kampus yang sukses membuat otakku jadi begitu keruh, tugas2 kuliah menjelang UAS, KKN yang belum mbayar, masya Allah........

Aku mengusirnya karena sikapnya itu telah mengusikku.. Dia tidak memberiku solusi yang nyata, hanya abstraksi saja.. Wahai tamuku, yang aku hadapi ini bukanlah skripsi yang menggunakan abstraksi segala, tapi benar2 persoalan yang nyata untuk seorang perempuan yang masih belum boleh bekerja, sekedar untuk meringankan beban orang tua, padahal masih banyak tanggungan yang perlu dipenuhi..

Satu minggu kemudian..

Aku kehabisan kesabaran.. Otakku menunjukkan taraf 100 derajat Celcius untuk ukuran otak manusia super...bebal!!! Ia mendidih, uapnya berubah menjadi uap mata.. Bola berlensa itu mencair, akibat dari panasnya otak bertemu dengan dinginnya hati.. Entahlah sudah berapa orang yang aku semproti huruf2 beraroma sambal akhir2 ini..

Sesosok tamu hadir lagi di rumahku, tapi ia bukan yang sebulan lalu datang kepadaku.. Ia agak berbeda, meski raut mukanya sama.. Ia tidak menanyakan apa masalahku, tapi langsung menuju pada mengapa aku bermasalah.. Aku menjawab dengan jawaban yang tak jauh berbeda dengan pertanyaan pertama, empat minggu yang lalu.. Mungkin hanya dengan tambahan "karena", "sebab" dan sebagainya.. Ya! Memang pertanyannya MENGAPA, maka jawabannyapun harus rasional, setidaknya bisa diterima di akalnya..

Tapi kehadiran tamu keduaku ini sepertinya bukan yang aku harapkan.. Yang aku rasakan malah lebih parah dari yang pertama.. Aku tidak hanya mengusirnya, tapi juga menendangnya dan membantingnya.. Ku kerahkan segenap jurus Wushu dan Tai Chi yang pernah ku pelajari, tapi dia tidak juga berpindah tempat.. Hingga saat ini dia masih menghuni rumahku.. Aku masih saja disetir dengan jiwa pesimisku..

Dua minggu yang lalu..

English-Arabic and Calligraph Competition sudah usai.. Seminar nasional entrepreneurship telah terlaksana.. Kongres BEM Fakultas selesai dan Pemilu rayapun telah mendapatkan hasilnya, memberitahukan kepada masyarakat bahwa ada yang lebih baik dari aku..

Ia datang lagi, tapi tidak menanyakan apa masalahku, tapi menanyakan apa yang aku rasakan.. Ia tahu temannya yang bertanya "mengapa-kenapa" itu masih bertengger di kursiku.. Akhirnya ku menjawab tanpa memperhatikan jarum nasibku, berapa derajatkah angka yang ditunjuknya untuk suhuku.. Ia membersihkan permukaan otakku.. Ada banyak debu di sana, benda seperti sarang laba2 dan pasir2 kasar.. Kemudian ia menyerap isi otakku dengan sebuah benda, sepertinya aku pernah kenal.. Mungkin sejenis hati.. Lalu ia memeras isi otakku yang sudah terserap tadi.. Wuih, kayak kain pel yang diperas setelah dipakai untuk membersihkan lantai yang dekiiiiiiiiillll banget.. Selepas itu, ia memintaku melihat suhuku.. Aku melihatnya.. Dua puluh tiga derajat Celcius.. Kok cepet banget ya turunnya?

Tujuh hari kemudian..

Dua per tiga dari tugas kuliahku selesai.. BEM tinggal menunggu waktu untuk segera mengadakan rapat kerja.. KKN dan UAS telah lunas terbayar, tinggal menunggu jaket baru dari almamater.. Namun orang tuaku masih juga begitu, tak pernah berubah acaranya: berantem, bertengkar, perang dingin, sesekali akur, rukun kayak gak ada apa-apa..

Si penanya "mengapa-kenapa" tetap diam, tapi temannya yang mulai melancarakan aktivitasnya: menanyaiku.. Tapi kali ini dengan pertanyaan: bagaimana aku bisa menyelesaikan persoalanku? Aku jawab, "Aku tidak tahu"..

Ia lalu menunjukkan mereka yang diabaikan orang tuanya, menunjukkan mereka yang darahnya dihisap oleh nyawa karena kelainan sistem peredaran darah, juga mereka yang hanya mampu menangis karena tak mungkin lagi memiliki anak kandung karena digerogoti kanker serviks telah menyita rahimnya.. Ia juga memperlihatkan kepadaku mereka yang tanpa selimut dan bantal tidur di kolong jembatan dan mereka yang hanya mampu makan sekali seminggu.. Kepadaku, ia juga menyuguhkan pemandangan mereka yang kehilangan rumah dan keluarga, uang yang menjadi daun hanya untuk membeli nafas karena ia harus menggunakan tabung oksigen untuk paru2nya dan seorang pelajar yang kehilangan 3 ponsel dan dompet serta surat2 penting yang ada di dalamnya: SIM, STNK, KTP, 3 kartu kredit dan uang berlembar2.. Bahkan ia juga menunjukkan mereka yang berdebat di kursi jabatan tanpa memiliki akal dan tanpa menggunakan hati..

Aku bangun, ia kembali berucap, tapi kali ini tidak untuk bertanya, "Jika kau jatuh tujuh kali, bangunlah untuk yang kedelapan kalinya.. Karena biar bagaimanapun, kegagalan itu bukan kesalahan.."

Akhirnya si penanya "mengapa-kenapa" mulai bicara, "Kau begitu kaya, mengapa kau masih merasa kurang? Kalau kau ingin merasa tenang, mengapa tidak kau coba untuk menerima apa yang telah diberikan oleh Tuhanmu sehingga kau bisa merasa menjadi orang yang paling kaya?"

Aku menunduk, baru ku sadari, bahkan masalahku sendiri adalah hartaku.. Harta yang membuatku menjadi semakin kaya..

(Sobatku, ku refleksikan ceritamu pada kisahku..)