Selasa, 15 Maret 2011

Rongsokan Redaksi (Ditolak!!!)

Weleh2 tau gini, q nulis yang berbahasa Inggris aja buat referensi skripsi.. Tapi gapapa dah, jadi seneng kalo permintaanq di tulisan ini langsung ditanggepin ma pihak redaktur, meski gak dimuat siy.. Alhamdulillah, ditolak lagi deh jadinya, hehehehehe.. Apa gara2 diksiku yang gak disaring dulu ya? Yawda.. Mohon komentar teman2 mengenai tulisanku yang ditolak pihak Buletin RABU, Buletin Tahunan Fakultas Tarbiyah ini..



BULETIN RABU, BERMUTUKAH?
(Tinjauan Kritis Perspektif Ejaan Bahasa Indonesia)


Izzatush Shobihah
(Pimpinan Redaksi dan Editor Buletin RUMAT BEM-FT)




I. Introduksi

Bermutunya suatu produk jelas akan mempengaruhi kepuasan pelanggan. Termasuk kualitas suatu bacaan, tentunya juga akan mempengaruhi selera dan minat para pembacanya. Terlepas dari kualitas wacana sebuah bacaan, ada hal yang menarik untuk diperbincangkan manakala bungkus atau fisik dari bacaan tersebut kurang begitu terselamatkan dari sisi kritisme. Dengan kata lain, tidak akan menutup kemungkinan banyak kritik dan saran, entah itu yang bersifat membangun atau malah menghancurkan, apabila dalam bacaan, buku, majalah, buletin, atau apapun bentuk dan istilahnya terdapat kekliruan, baik yang ringan maupun yang sangat fatal. Dan kekeliruan itulah yang mampu membuat pembaca semakin tak berkesan untuk menyimaknya sehingga mampu menyingkirkan kenyamanan mereka dalam menikmati sajian wacana tersebut.


II. Sensitivitas Ejaan

Kesalahan Satu Huruf = EFEK FATAL!

Pada tahun 2001, sebuah dialog antara guru dan siswa terjadi di sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) di bilangan kota Surabaya. Sang guru melihat pekerjaan si murid. Lensa mata sang guru menangkap bayangan dari tulisan si murid kemudian beliau menanyakannya, ”Ini tulisan apa, Nak?”
Si murid menjawab, ”Akhlak tercela, Pak.”


”Kok tulisan ’tercela’-nya diakhiri huruf ’h’?”


”Lho, salah ya, Pak?”


”Kalau tercela yang dimaksud adalah buruk atau tidak terpuji, maka tidak perlu memakai ’h’. Kalau tercelah, itu berarti terbelah atau didapati ada celah pada suatu benda. Apa ada akhlak yang terbelah?”


”Oooo...”, si murid kemudian mengambil penghapusnya dan menghilangkan huruf terakhir sehingga sempurnalah kata yang ditulisnya tadi.


Berefleksi dari cerita di atas, tentulah akibatnya masih belum begitu fatal, karena pembahasannya masih berada dalam ruang lingkup pendidikan dasar. Tapi, akan menjadi bahan pertimbangan yang serius jika si murid tidak mendapatkan kritikan yang membangun dari gurunya tadi. Pertimbangan yang serius itu bisa saja datang ketika si murid telah beranjak dewasa yang kemudian dia memilih jalan hidupnya sebagai ilmuwan dan ahli agama. Jika dia masih juga menggunakan istilah tercelah sebagai pengganti kata tidak terpuji, maka akan ada satu istilah baru dalam dunia keilmuan agama, khususnya Akidah Akhlak, yang mampu membuka pintu probabilitas lahirnya teori baru: AKHLAK TERCELAH. Betapa sinis dunia menertawainya bila dia masih saja eksis dengan istilahnya tersebut.


Sekali lagi, ini hanya salah satu contoh yang efek awalnya masih belum begitu fatal.


Colekan untuk Buletin RABU

Sampel tadi hanya satu titik dari sekian banyak titik perhatian dalam dunia pendidikan di Indonesia. Institut Keislaman Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang adalah salah satu titik yang perlu dicermati pula, apalagi dengan hadirnya Buletin RABU yang sudah menerbitkan tidak sedikit edisi untuk menggali potensi atau sebagai sarana belajar murid-muridnya. Dengan peran Buletin RABU yang merupakan manifestasi usaha untuk mengawali perubahan nasib warga didiknya menjadi lebih baik itu, otomatis menjadikan dirinya sebagai titik di dalam titik yang juga perlu diperhatikan dan dicermati.


Pembaca sekalian yang budiman, mari sejenak kita buka edisi Buletin RABU sebelum edisi ini. Sudah 8 edisi yang terlahir dari perasan otak para akademisi fakultas kita., terlepas dari seberapa banyak edisi yang telah kita baca, kita terima atau bahkan kita anggurkan hingga buletin-buletin itu berubah menjadi sahabat rumah laba-laba.


Pada bagian belakang halaman muka Buletin RABU edisi VII/Tahun VII/Juli 2008, kita akan menemukan tujuh wajah buletin dari awal peluncuran. Kualitas tata letak dan layout halaman mukanyapun meningkat dari edisi ke edisi. Tapi, Saudara-Saudara, bukan itu yang menjadi titik pembahasan tulisan ini. Coba kita simak dua contoh nyata (yang sebelumnya penulis pilih secara acak) di bawah ini.


Contoh 1

Silakan buka Buletin RABU edisi VII/Tahun VII/Juli 2008 halaman 19, kita akan menemui subjudul yang sudah cukup tepat ”Model Pembelajaran Langsung” dan itu ditulis tanpa tanda titik. Tapi kita coba bertamasya ke subjudul setelahnya, tepatnya pada halaman selanjutnya. Di situ ada tulisan dengan huruf tebal ”Model Pembelajaran Berbasis Masalah.” dan itu ditulis dengan menggunakan tanda titik. Padahal dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan, atau kepala ilustrasi, label, dan sebagainya.
Entah itu adalah kesengajaan atau kesalahan teknis, yang jelas ketidaksempurnaan kaidah kepenulisan menurut aturan kebahasaan bangsa sendiri tersebut terulang lagi pada subjudul yang ditulis dengan tanda titik setelahnya: ”PENUTUP.”.


Contoh 2

Setelah itu mari kita teliti lagi pada Buletin RABU edisi VI/Tahun VI/Juli 2007 halaman 50. Di sana tersurat kata ”(Kalibening Salatiga)”. Akan tetapi pada halaman 51 ada rentetan huruf kapital yang tebal berbunyi INOVASI BARU DARI KALI BENING. Sekilas tulisan tersebut akan membawa otak-otak Tarbiyah kita memasang tanda analisis, ”Kali bening dengan inovasi? Memang ada hubungannya, ya?”


Jelas perbedaan yang sangat menonjol ketika kali bening (sungai yang jernih) dipertemukan dengan Kalibening (nama suatu desa atau wilayah), tentunya terlepas dari ada tidaknya kali bening di dalam Kalibening. Perbedaan tanda spasi pada judul dan subjudul bisa memicu kesalahpahaman pembaca. Terlalu naif jika si teknis harus disalahkan berkali-kali.


Dua contoh di atas merupakan contoh dari ”dosa-dosa teknis” yang bisa kita temui pada lingkungan literatur kita sehari-hari. Otomatis, dosa-dosa tersebut juga mempengaruhi kualitas Buletin RABU sebagai buletin kebanggaan, terutama di mata mereka yang jeli sensitivitas EYD-nya.


III. Sebuah Tawaran Solutif Hadir

Keberadaan ”dosa-dosa teknis” tersebut tak terlepas dari eksistensi dan profesionalisme para ahli yang tergabung dalam susunan redaksi Buletin RABU.


Menurut susunan redaksi Buletin RABU edisi VIII/Tahun VIII/Juli 2009, dari sederetan nama tersebut tak ada satu orangpun yang menduduki posisi editor karena memang posisi itu tidak ada atau masih belum tersedia. Entah karena adanya double job atau bagaimana, yang pasti ”dosa-dosa” eksplisit tadi masih menyertai kehidupan Buletin RABU dari waktu ke waktu hingga edisi VIII.


Terlepas dari diterima atau tidak, sebuah tawaran solutif hadir melalui tulisan ini. Tak ada salahnya jika dalam susunan redaksi ada posisi baru, yakni EDITOR, setidaknya editor untuk artikel berbahasa Indonesia terlebih dahulu, melihat mayoritas artikel yang dimuat adalah artikel berbahasa kebanggaan bangsa ini. Bila perlu, sertakan mahasiswa untuk ikut bergabung dalam susunan redaksi Buletin RABU.


Sebagai bahan pertimbangannya, bukankah buletin ini adalah sarana bagi mahasiswa untuk mengembangkan bakatnya dalam dunia kepenulisan?


Semua memang butuh proses, tapi kesalahan juga perlu dibenahi. Tidak ada salahnya menghadirkan posisi editor dalam buletin kesayangan kita ini, apalagi mahasiswa juga diberi kesempatan untuk belajar tentang profesionalisme di dalamnya sebagai manifestasi kemajuan Fakultas Tarbiyah menjelang usianya yang ke-40 tahun. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? Jika kehadiran editor bisa meningkatkan kualitas Buletin RABU, mengapa tidak?