Selasa, 04 Oktober 2016

Status FB 2 Oktober 2016

Izzatush Shobihah
2 Oktober pukul 18:14 · 

Ini yang bikin khawatir. Apalagi pas lihat si kecil yang masih berusia 3 tahun sedang belajar mengeja kata DOMBA dengan ucapan di-ou-em-bi-a. Kok campuran? Bisa jadi ini karena video yang dia tonton kebanyakan berbahasa asing.

Kalau dulu, dengan tujuan tertentu, sebagian guru saya 'mengutamakan' percakapan dengan bahasa asing (Arab, Inggris, Korea), dan sampai sekarang belum bisa hilang, mulai sekarang saya harus memastikan anak saya menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar serta bahasa Jawa yang lebih krama.
Bukankah bahasa ibu harusnya lebih utama dari bahasa tetangga, walau sama-sama pentingnya?

Bila belum bisa menginternasionalkan Bahasa Indonesia, setidaknya sadarkan diri sendiri bahwa bahasa daerah dan Bahasa Indonesia adalah 'nasi', sementara bahasa asing adalah 'lauk'.
#iZzatQuote

Sumanto Al Qurtuby
26 September pukul 20:47 · 

Antara "Abi-Umi" dan "Papa-Mama"

Iseng tapi serius, serius tapi iseng saya bertanya ke murid-murid Saudi-ku tentang kata apa yang sering mereka pakai untuk memanggil bapak-ibu mereka. Menurut mereka, untuk masyarakat urban / kota di Saudi dan Arab Teluk, khususnya kalangan muda dan anak-anak, yang umum digunakan adalah "papa" (Arabic: "ba-ba") untuk "ayah" dan "mama" (Arabic: ma-ma) untuk ibu. Sementara bagi yang tua-tua, mereka menggunakan kata "abi" (untuk ayah) dan "umi" (untuk ibu). Memang dalam berbagai iklan di TV, kata "papa-mama" yang sering diucapkan ketimbang abi-umi.

Beberapa murid-muridku bahkan menjelaskan kalau kata "abi-umi" sudah mulai kedaluarsa dan ditinggalkan karena dianggap "kurang trendi" dan "kurang modern". Bagi sebagian dari mereka kata "papa-mama" dipandang lebih modern dan "menginternasional".

Sebagai dampak dari globalisasi, modernisasi, internetisasi dan sasi-sasi yang lain, memang banyak sekali bermunculan kosakata-kosakata Arab baru yang merupakan hasil dari proses "Arabisasi" atas sejumlah bahasa asing, khususnya Inggris. Karena didukung oleh media yang superkuat dan "kapitalisme global" yang menggurita, Bahasa Inggris memang telah memakan banyak korban di berbagai negara.

Bahasa Inggris bukan hanya "mencaplok" Bahasa Arab tetapi juga bahasa-bahasa lokal lain, termasuk Bahasa Indonesia. Ibaratnya, Bahasa Inggris itu seperti "Transnational Cooperation" (TNC), sementara bahasa-bahasa lain itu seperti "home industry" yang susah untuk berkembangbiak dan berkompetisi karena berbagai keterbatasan.

Sejak beberapa dekade lalu, Bahasa Inggris telah mengepung Arab Teluk sehingga membuat Bahasa Arab terpaksa (atau dipaksa) beradaptasi. Realitas ini telah menyebabkan munculnya berbagai kosakata baru dalam Bahasa Arab modern di satu sisi. Sementara di pihak lain, dengan maraknya Bahasa Arab modern yang dipakai di berbagai media, ruang-ruang publik, dan instistusi pemerintah dan non-pemerintah ini telah mengakibatkan punahnya Bahasa Arab klasik (fushah) dalam memori masyarakat Arab, termasuk Saudi.

Meluasnya penggunaan "papa-mama" ketimbang "abi-umi" hanyalah contoh kecil dari proses "pengglobalan" Bahasa Arab kotemporer yang oleh mereka dipandang lebih "modern" dan "gaul". Fenomena ini sepertinya bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia, dimana penyebutan "abi-umi" oleh sebagian kelompok Muslim dipandang "lebih Islami" atau "lebih religius" sedangkan panggilan "papa-mama" dianggap "lebih sekuler" atau "tidak Islami". Di Saudi, kalaupun ada yang memanggil "abi-umi" ya biasa saja hanya sebuah panggilan, tidak ada sangkut-pautnya dengan religiusitas seseorang, sebagaimana kita memanggil ayah-ibu kita dengan "bapake" atau "simboke".

Jabal Dhahran, Arabia
_________

Izzatush Shobihah
2 Oktober pukul 17:20 · 

Ta'aruf itu bikin kesepakatan. Tentang apa? Tentang apapun.

Contohnya, sepakat kalau ada masalah diselesaikan malam itu juga sebisa mungkin tanpa melibatkan orang lain.

Sepakat si istri boleh kerja kalau si anak udah masuk pesantren.

Sepakat tentang alokasi penghasilan dipakai untuk apa aja. Banyak pilihannya: pakai 30-30-30-10 (30% untuk kebutuhan harian, 30% untuk kebutuhan bulanan, 30% untuk kebutuhan tahunan, 10% untuk sedekah), pakai 20-20-50-10 (20% untuk orang tua suami, 20% untuk orang tua istri, 50% untuk kebutuhan sekarang, 10% untuk pengeluaran tak terduga), atau pakai 25-30-20-15-5-5 (25% untuk kebutuhan anak, 30% untuk kebutuhan rumah tangga, 20% untuk kebutuhan suami istri, 15% untuk investasi, 5% untuk aktualisasi diri/kursus/beli buku, 5% untuk bersosialisasi). Banyak alternatifnya.

Juga sepakat bila ada yang terbukti selingkuh, gula dalam kopi boleh diganti dengan sianida.

Ta'aruf itu yang penting sepakat, agar siap membangun keluarga sakinah.
#iZzatQuote
_________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar